Selasa, 22 September 2009

KIYAP-KIYEP JAKARTA

I. AKU DIMAS
Mobil Audi tahun '90 warna merah itu terus melaju cepat memasuki jalan tol Bekasi-Jakarta. Sesekali terlihat motor atau mobil pribadi yang asal nyelip. Jalan cukup ramai. Ini masih hari Selasa. Jalanan baru sepi saat hari sabtu atau Minggu.
Dimas, penyetir (atau lebih afdolnya pemilik) Audi merah merona itu menghembuskan asap rokoknya dengan expresi pasrah abis. Ia menengok arloji tahun '80 nya (ini cowo emang rada-rada jadul) dengan gelisah. 09.30. Telat 30 menit. Kuliah si Botak sial itu pasti udah molai. Dimas yang frustasi membelak-belokkan setirnya ugal-ugalan, zig-zag layaknya mas Ronaldinho. Eiiiiiittttttt..... Jangan dikira walaupun jalanan sepi tapi aman tentram sentosa, seringkali ada kamera pemantau utusan POLANTAS Bekasi. Ini yang sering bikin Dimas bokek, cowo satu ini harus berkali-kali merogoh kocek dari dompet anjing bulldognya (termasuk saudara kembar juga ama mukanya). Dua puluh ribu rupiyah. Itu kalo polisinya masih agak-agak toleransi dikit, parahnya kadang-kadang ada yang suka ngeyel, sampai pada akhir cerita Dimas harus merelakan kepergian uang seratus ribu semata wayangnya itu merantau untuk biaya tilang.
Kini ada dua opsi.
Duduk pait sambil ndengerin khotbah ala Botak non-stop 3 jam dengan gaya kayang (sebagai pengganti berdiri satu kaki, udah kunooooo....),
Atau bolos kuliah sekalian.
* * *
Nggak begitu lama waktu yang dibutuhin remaja ABG (Awan Bengi Gorengan) satu ini buat milih. Detik ini ia udah stand by di ruangan Botak. Duduk asoy bersandar di korsi kuliah warna item kecoa dengan wajah pasrah bak Amrozi diexekusi mati.
Botak, alias Sukarjo, alias Karjo, alias Killer, alias Muklis (pilm Abdel dan Temon), alias Pak Ogah, alias Sule OVJ, alias apa lagi lupa (kaya teroris aja, nama sampe numpuk), menatapnya sinis.
"Kamu lagi. . ."
Hening (Samsons). Dimas mulai menatap balik si Botak, dengan expresi tanpa dosa.
"Mau kamu apa?"
Dimas melengos sambil tersenyum culas.
"Peduli apa Bapak sama saya?"
"Jelas peduli, pertanyaan macam apa itu. . . ?"
"Karena Bapak sudah digaji, dan gaji itu berasal dari setoran bulanan orang tua saya?" mutilasi Dimas.
Botak diam tanpa kata, meskipun dia bukan Mazivers. Percaya nggak percaya, hari ini Dimas udah bikin keajaiban yang patut masuk urutan ke-8 dalam 7 keajaiban dunia : Menundukkan Botak Sukarjo, umur 48 tahun, dosen Fisika merangkap tukang jagal anak-anak kampus.
"Sekarang mau kamu apa?" tanya Botak sambil menahan ledakan amarah.
"Buat apa tau?" sahut Dimas dengan tampang kurang ajar.
"Ini sudah kali keempat kamu tidak menghadiri jam saya. Kamu mau tidak lulus?" tanya Botak dengan nada tinggi.
"Tau?" Dimas mengangkat bahu. "Kalau saya nggak lulus gara-gara Fisika, kan bapak juga ya yang malu?" sindirnya.
BRAK!!!
Kini Dimas bisa melihat Botak yang barusan menggebrak meja dari kayu jati itu (padahal masih baru lho) berdiri. Tubuhnya yang gempal, apalagi dilihat dari sisi bawah membuat Dimas tersenyum
ngenes. Ia keingetan film Doraemon.
"Apa yang lucu?"
"Kalo saya bilang Bapak mirip Doraemon, Bapak marah nggak? Saya udah jujur lho, orang bohong itu dosa kan Pak?"
Kali ini Botak bener-bener kebakaran, mukanya udah kayak kepiting direbus dalam air 101 derajat celciyus, kepalanya bersinar bak lampu jalanan di sekitar masjid Istiqlal kalo malem (pake Garnier lightening cream kali ya? Promosi terselubung ni...).
Apa maunya anak ini?
"Udahan Pak? Saya balik dulu ya, masih ada mata kul yang harus saya hadiri lho. . ."
Dimas bangkit dan ngeloyor pergi dengan langkah silir-silir tanpa dosa meninggalkan Botak yang siap meledak layaknya lagu Gita Gutawa bekerjasama dengan Mas Noordin M. Te O Pe.
* * *
Dimas duduk di emperan koridor kampus. Sesekali terlihat mahasiswa-mahasiswi beserta para dosen yang mondar-mandir lalu-lalang bolak-balik kembang-kempis. Kalo boleh jujur, Dimas capek sekali. Kalo aja tadi dia nggak inget Ibunda tercinta yang udah ngerelain duit arisannya dipotong buat nguliahin Dimas, pasti ia udah jadi Rian kedua karena udah mutilasi si Botak buat sayur sop (ayam sekarang lagi mahal-mahalnya, sekali-kali ngirit... nb: yang ngarang ni cerita bukan psikopat lho). Pak tua berkepala kinclong itu memang suka agak kebangetan. Sekali-kali perlu pelajaran anak muda biar ga botak.
Sebagai anak laki-laki (yang walaupun masih agak diragukan) semata wayang dalam sebuah keluarga yang lumayan di tengah-tengah padatnya kota metropolis, kalo boleh dibilang ia sebenernya suntuk. Gampangane
Bosen Urip Mewah.
Sang bokap yang cuma satu (iya lah) konon adalah direktur sebuah perusahaan ternama (walopun namanya lupa saia) di Jakarta. Nyokap, yang juga hanya satu-satunya adalah pemilik sebuah butik yang cukup kesohor di Bekasi, entah kesohor karena bagus atau mahal, sekaligus juga sebagai designernya. Minimal ni ya, tiga bulan sekali berlibur ke Hawaii ato kalo bosen Honolulu, ato lagi. . . halah keliling dunia lah, walking-walking world
ndean bahasa Inggrise.
Pokoknya segala permintaan Dimas bakalan keturutan. Buktinya, dia dibeliin Audi merah itu, cuma gara-garanya muji-muji iklan Audi merah di TV (bintang iklannya saia. . . hehe jangan percaya ding), padahal dia nggak pernah minta sama sekali.
Dibalik itu semua (lo kate papan dibalik), Dimas sebenernya boring. Boring ama tuntutan-tuntutan sang bokap yang harus ini harus itu. Maklumlah, doi kan calon penerus perusahaan ge te el. . . .Nyokap, nggak jauh beda, malah parah, Dimas udah diajarin tata busana ama ukuran-ukurannya, sampe ada guru privatnya lagi! Padahal, Dimas nyadar kalo dia gambar dasternya bebek aja ngga bisa (mana ada bebek punya daster ya?), ngga jarang ada suara terdengar teriakan protes (oleh saudara Dimas) gara-gara dipaksa nyokap ngukur badan mbak-mbak model (lagian nyokap juga si yang rada-rada GeJe). Nggak jarang juga ada suara gebrakan meja (sampe mbekas,
mbolang-blanteng) gara-gara bonyok ribut rebutan Dimas buat jadi penerus usaha masing-masing.
Kadang Dimas bertanya-tanya sendiri,
Adakah yang peduli perasaannya?

II. KEYSHA
"Kenapa lo? Suntuk amat?"
David, temen sekampus, yang udah jadi sejiwa, seraga, sepaha, sehidup, dan semati itu menghampirinya. Meski kadang-kadang super duper reseeeeeeeeeeee, tapi dia enak jadi temen curhat. Bodi? Hmm. . . bayangin aja kaia Aming.
Dimas menoleh bentar, sekedar ngecek muka David masih ancur (maap bagi mas Aming, kan yang mirip bodi bukan muka, parah ini si), lalu melengos.
David menghela nafas sepanjang sungai Bengawan Solo. Ia mengeluarkan kopi dari tas bututnya.
"Begadang lagi bung?" ia mengulurkan kopi itu pada Dimas.
"Nggak, Ronaldinho semalem nggak maen."
"Emang setiap lo begadang ampe pagi cuma buat si Ronal?"
"Jangan Ronal dong manggilnya, gue ngga mau disangka ngefans ama si Ronal anak sastra."
"Biarin aja, manis gitu loh". (maap bagi yang bernama Ronal, namanya udah dimaen-maenin).
Dimas diam, cape berdebat ama setan satu ini.
"Gua cape aja, Dav."
"Ck. . . aneh aja lo." David memasukkan kembali kopinya lantaran dicuekin ama Dimas. "Kena si Botak lagi?"
Dimas kembali melengos. Matanya menerawangi seluruh koridor kampus tercintanya itu.
Mungkin gue udah jadi pengikut Imam Samudra kalo gue jadi ngebakar rumah si botak kali ya? ucapnya dalam hati (Jawane nggrentes).
Dimas bangkit, ia berjalan meninggalkan David yang melongo.
"Woi, minggat kemana lo?"
"Suntuk ah gue, daripada stres masuk RSJ mendingan jalan-jalan bentar."
"Wait, wait, ayem ikut Mas! Gua mo ngawasin lo, siapa tau lo jatuh dari jembatan Ancol bunuh diri, frustrasi bo. . . "
"Frutasi bu. . . " Dimas menoleh dan nyengir kuda, ngebiarin si David lari-lari anjing ngejar dia.
* * *
David keliatan krubes, ngiket, trus buang kresek item malang itu sembarangan ke jalan yang tak berdosa. Dimas cuma pasang cengir kurang ajar sambil ngeluarin kresek baru dari 'bagasi cinta kebersihan', nggak lain isinya kresek muntahan (jikalo ada orang desa yang nyasar masuk ke mobil Dimas). David langsng nyamber tu kresek tanpa ampun.Nggak perlu nunggu lama (siapa juga yang mau nungguin?), kembali terdengar orkes ber-hoex ria disertai semburan virus-virus orang ndesonya.
David menoleh ke Dimas dengan tampang pucet. "Punya dosa apa ya gua ama mobil sialan lo?"
Dimas ketawa ala Mbah Surip. Merasa boring, iseng-iseng nyalain
radio tape. "Dosa? Lo udah berani-berani ngotorin kursi Audi gue yang bersih ini ama muka seken lo, nebeng gratis pula. . . "
Ia mencomot beberapa kaet tape yang itu-itu aja dari jaman baheula. "Riquwes bro, Broery Marantika? Gombloh? Doel Sumbang? Koes Plus? Warkop DKI? Ki Hajar Dewantara?"
"Ah parah lo. . . mobil Audi, selera JADUL!!!"
"Gombloh." Dimas cuek, membiarkan David yang udah nggak keruan mukanya, nggak rela suasana jadi tambah jadul gara-gara lagu Gombloh (saia suka lo padahal, hehe). Dimas menyetel
tapenya (ket: volume pull). David cuma melengos, lalu membuka kresek en ngelanjutin 'hoex ria' nya.
"Jangan lo bilang kresek lo udah abis ya Dim . . . gua kecanduan (muntah) ni . . . " wanti David sambil membuntel & membuang kresek itu.
Dimas melongo.
David mengernyit heran. "Kesambet setan Pancoran lo?"
Dimas menunjukkan 'bagasi kresek'nya.
"Abis . . ."
"Hah???"
"Gua bilang udah abis, lo udah make lima tauuuuu???"
"Serius lo?"
"Dua koma lima rius."
David ikutan ngelongok ke 'bagasi'nya Dimas. Emang kosong, tinggal topinya Dimas yang ditaro situ.
"Ini ajah . . ." kata David sambil mencomot topi Dimas.
"E . . . kurang asem lo . . ."Dimas menyambar lagi topinya.
"Kenapa nggak bilang daritadi lo???"
"Gua kira kan cukup . . ."Masa gua harus sedia kresek satu pabrik? Ntar bokap lagi yang ngomel . . ."
"Gua mau 'mun' ni . . ."
"Halah!?"
"(blekek)-
suara orang mau muntah."
"TURUNNNNNNNNN!!!!!!!!!!!!!!!" teriak Dimas sambil nendang David ampe keluar dari mobil.
* * *
"Kenapa mas?"
Dimas yang lagi ngebantu David mengeluarkan hajat-nya (bukan hajat ituh . . .) terlonjak kaget. "Innalillahi . . ."
"Biasa aja kali mas . . ." Gadis berambut item-item kutu itu meletakkan gitar bolongnya dan mendekati keduanya. "Napa mas?"
"Oh . . . ga papa . . . "
"Ga papa gundulmu . . . " sahut David sewot.
"Husy!!!" seru Dimas sembari nekek David.
Gadis itu mengernyitkan alis begitu menatap wajah ancur David.
"Mabok?"
"Ho-oh." sahut David yang disambut injakan kaki gajah Dimas.
"Jangan dianggap enteng . . . bisa kering ntar lo . . . bisa-bisa lo pulang uda jadi peyek teri . . ." gadis itu mengeluarkan air mineral + minyak kayu coklat dari kantong jinsnya. "Ambil." ia menyodorkannya pada David yang udah kaya bebek goreng . . .
"Makasih . . ."
"Oiye, gua punya ini ni . . ." gadis item-item kutu itu mengulurkan sebungkus antimo (yang meski
wis kucel, mblesek, bujig, gari siji maning).
"Makasih lagi . . ." kali ini yang nyamber Dimas.
"Emang lo yang mabok???"
"Tangan lo kan penuh semua Dav . . . gua kan baik hati, tidak sombong dan gemar menabung . . ."
"Udah . . . cepet diminum . . . keburu bosok!!!"
"Antimo bisa bosok?"
"Nggak sih, gue kan cuma ngomong aje."
David diam tanpa kata, langsung nenggak aje tu antimo tanpa minum, alhasil
keloloden (bahasa Indonesia :tersedak). Ia buru-buru meraih air terdekat (tau air apaan), sementara Dimas mengoleskan minyak kayu putih dari cewe item kutu itu ke perut David.
"Udah nih!"
Gadis itu menerimanya sambil senyum kuda. lalu ia kembali menenteng gitarnya.
Gadis berambut item kutu itu ngga terlalu cantik, ngga terlalu jelek juga tapi (sedengan Jawane). Di atas matanya dihiasi (alah dihiasi . . .) alis tegas bak satpam mesjid Agung Bumiayu. Sikapnya juga cowo banggetssssssss (bayangin Mitha the Virgin tapi mukanya Velove Vercia yax!). Umurnya menurut kacamata batin Dimas & David sekitar 19 taunan (nanggung amat!). Kaosnya item kutu juga, lengen pendek, didobel rompi jins tank-top doreng, jins rombeng, sepatu boot
bujhig yang ukurannya 2x kakinya sendiri, gelang rasta ala Mbah Surip (alm.), & ga ketinggalan kain lap bekas yang diiketin di kepalanya ditemani sebuah gitar bolong khas mencerminkan rakyat pengamen sejati (UYEEEEEEEEE!!!).