Rabu, 12 Januari 2011

"Untuk teman-teman, terimakasih telah mengajariku tentang Arti Hidup, Pengorbanan, Bakat, dan Cinta. Kalian adalah guru yang tidak akan kulupakan, pemberi inspirasi abadi yang tak akan mati. Salam hormat dariku untuk kalian, Sayap Garuda."

"Jangan pernah pandang mereka dengan sebelah mata, ataupun menutup mata, bahkan memalingkan wajahmu dari tatapan mereka. Mereka adalah saudara sedarah kita, sepijak dengan kita, selangit dengan kita. Mereka juga Sayap-Sayap Merah Putih."

1. Abdullah, sosok pemimpin pertama yang saya temui.

Tidak ada yang menyangka saya akan pindah sekolah. Saya pindah dari suatu SD swasta asuhan yayasan ke SD Negeri. Saat ditanya,saya tidak akan pusing-pusing menjawab. Jauh. Saya jawab begitu. Pikir saya, tak ada orang yang akan bertanya macam-macam pada anak kelas satu SD, tidak ada yang perlu saya jawab lebih dari itu.
Namun 'pindah' tak semudah ganti seragam, ganti pelajaran, atau ganti kelas. Saat tersulit saat itu bagi anak kelas satu SD adalah bicara pada kepala sekolah SD asalku. Entah apa yang dipikirkan Ibunda, hingga beliau menyuruh saya untuk menghadap sendiri Ibu Kepala Sekolah SD yang sangat disegani itu. Perempuan paruh baya itu bukan wanita yang mudah dihadapi. Perlu banyak dalih agar beliau mengizinkan saya untuk pindah. Dan perlu banyak waktu untuk itu. Saya rasa beberapa jam telah kuhabiskan untuk berdalih dengan wanita itu, sebelum akhirnya Ibu dan Ayah mengajak saya pamit pulang dari rumah sang Ibu. Entah apa yang kulakukan berhasil atau tidak, yang jelas saya berhasil pindah ke SD Negeri.
Bocah bandel yang pertama saya temui adalah Abdullah. Bocah nakal dengan segudang harapan, mimpi, dan rasa ingin tahu. Ia adalah anak Maryamah, guru di sekolah kami. Ia manja. Begitu pikir saya ketika melihatnya masih menggelendot Ibunya. Bukan main, ketika saya tahu dia adalah ketua kelas saya, yang jelas akan memimpin selama satu tahun ini.
Saat itu belum ada sistem demokrasi kelas seperti yang umumnya dilakukan di sekolah-sekolah sekarang ini. Orang merasa, kami masih terlalu kecil untuk tahu politik. Bukan urusan kami. Kami tahu beres. Mereka tidak ingin kmai tahu sebelum waktunya dan jadi seperti para tikus uang di bui. Jadi yang memilih Abdullah tentu saja wali kelas kami. Seperti yang saya katakan tadi, kami hanya tahu beres saja.
Seperti apa bayangan kami dipimpin oleh seorang anak penganut hiperaktif, tidak terjadi padanya. Dia sangat menghormati pendapat kami, luar biasa untuk anak seumur enam tahun. Dia menjaga tegas tugas-tugas kami, terutama piket. Dia sangat memandang rata daripada kami. Tidak ada yang lebih atau kurang. Kami sama. Begitu dipandangannya. Tanggung jawabnya memimpin kami dipegangnya teguh seakan akan ditanya Munkar dan Nakir besok hari. Itulah yang membuat saya tertegun akan sosok seorang pemimpin besar di depan mata saya. Ia tetap jadi bocah bengal, mungkin selamanya akan jadi bocah bengal. Namun bocah itu bukan Abdullah si Ketua Kelas. Ia mampu berubah 180 derajat.
Akademisnya mengerikan. Itu yang bisa saya katakan tentangnya. Pengetahuannya luar biasa. Rasa ingin tahunya meluap keluar, tak dapat dibendung. Seakan semua pengetahuan habis dilalapnya. Tak ada yang membuatnya tak penasaran. Itulah yang membuatnya tak dapat duduk tenang, hiperaktif. Matanya selalu berkilat, mencari-cari apa yang belum pernah diketahuinya. Kadang, ia merepotkan para pekerja, misal pekerja bangunan. Ditanyai ini-itu oleh seorang anak SD, kurang membantu mereka. Pertanyaannya berkisar pada fungsi-fungsi alat suatu bahan. Dulu, saya kecil melihatnya sebagai sebuah gangguan menyebalkan. Namun, kini saya melihatnya sebagai suatu minat bakat alamiah dari seorang calon pemimpin besar masa mendatang.
Minatnya sebagian besar berpusat pada sosial-politik dan ilmu IPS lainnya, kurang perhatian dengan ilmu eksak. Bukan main, saat ia mencurahkan semua isi pengetahuan dikepalanya, tak ada yang dapat bernapas. Politik negara dilalap oleh anak sekolah dasar. Peta dunia dikupas habis olehnya. Budaya Indonesia dicurahkan dalam kata-kata cerdas seorang politikus olehnya. Bukan mustahil untuknya menyebutkan sekaligus para pemimpin negaranya. Tak ada yang tak terbius oleh setiap kalimatnya. Tertegun dalam nuansa jenius seorang pemimpin disetiap baitnya. Itulah bakat alamiah pertama yang saya temukan dalam petualangan hidup saya. Bakat pemimpin abadi, yang mendasar pada diri Abdullah, bocah beringas kelas satu.
Tak lepas dari kepemimpinannya, ia memegang kunci kejujuran. Setiap barang yang ditanggung jawabkan padanya tak kurang dari suatu apapun. Terutama yang menyangkut soal material, bahkan kadang ia menolak untuk ditanggungjawabkan padanya. Wajar. Ketimbang terlanjur terjadi hal-hal yang bertentangan dengan prinsip sejatinya sebagai seorang pemimpin.
Kepemimpinannya terus berlanjut hingga naik ke kelas enam. Saat itu saya semakin mengagumi caranya berbicara. Percaya dirinya kelas satu. Ia tak akan berhenti bertanya sebelum otaknya penuh. Saya iri dengan rasa ingin tahunya yang sedemikian besar, fantasinya yang penuh makna.*SS*